Untuk Seseorang yang (Belum) Ingin Menikah ?
Haloooo Yeorobun.. sudah lama sekali ternyata aku tidak menulis. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku ceritakan, terlalu banyak sampai aku bingung mau menceritakan yang mana lebih dulu. Mungkin sebelum aku bercerita, aku ingin menyapa sambil membersihkan sarang laba-laba di blog ini wkwk.
Apa kabar Yeorobun? apakah hidup
berjalan dengan baik-baik saja? atau terlalu banyak problematika kehidupan yang
harus kamu jalani? Iya?... kamu hebat bisa melewati semua cobaan dalam hidup
walau tidak semua hal dapat diselesaikan dengan baik. Percayalah bahwa kita
semua luar biasa dengan permasalahan hidup kita masing-masing. Dan untuk yang
sedang berbahagia, selamat ya! kamu berhak untuk semua hal yang membahagiakan.
Tetaplah menjadi baik pada setiap fase-fase kehidupan yang sedang kamu jalani,
setiap usaha mu, syukur ku, perjuangan mu, percayalah bahwa Tuhan tidak akan
pernah mengabaikan hal sekecil apapun yang kamu lakukan. Semoga keberkahan
hidup senantiasa Tuhan limpahkan kepada kita semua. Aamiin!
Bismillah...
Beberapa waktu yang lalu, seorang
ibu dari teman ku menghubungi ku. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya,
walau kami sudah pernah beberapa kali bertemu. Tapi kali ini bukan berita baik
yang kudapatkan. Tapi cerita tentang kekecewaan seorang ibu dari anak perempuan
terbaiknya. Beliau bercerita, betapa anak perempuannya sudah sangat jauh
berubah, berubah menjadi tidak baik. Seolah beliau sebagai seorang ibu pun
sudah tidak lagi mengenal putrinya.
Aku sendiri sejujurnya tidak
terlalu menyadari perubahan temanku, tidak juga mengetahui ternyata serumit itu
permasalahannya, sampai akhirnya aku mendengar cerita si ibu. Hati beliau patah
pada seorang lelaki yang baru dikenal putrinya, seolah diduakan oleh cinta yang
baru dikenal sang putri. Awalnya, ku kira aku hanya sebagai pendengar yang juga
ikut hancur oleh kekecewaan seorang ibu. Tapi ternyata pengharapan si ibu
sangat bergantung pada ku.
“Nak, bolehkan ibu meminta bantuan
mu. Mungkin hanya melalui kamulah jalannya. Ibu sebagai ibu pun sudah tidak
didengarkannya lagi. Ibu memohon sekali bantuan mu...”
Hati ku ikut patah
berkeping-keping. Aku akhirnya berkata “Ibu, aku mungkin akan membantu sebisa
ku sesuai dengan porsi ku sebagai seorang temannya. Aku berharap ibu terus
mendoakannya supaya Allah juga bantu membuka jalannya untuk kembali seperti
dahulu...”
“Iya Nak, Ibu justru senang sekali
melihat mu. Ibu bahkan pernah berkata padanya bahwa kamu saja masih santai dan
tidak ‘gatal dengan laki-laki’ tapi
entah kenapa putri ibu sekarang ini sudah sangat kelewatan seperti tidak bisa
hidup tanpa laki-laki”
Kita sama-sama tau kebanyakan ibu
justru memberikan pressure kepada
anaknya untuk segera menikah, hanya sebagian kecil saja ibu-ibu yang tetap santai
dengan anak gadisnya yang belum menikah karena streotype yang terbentuk di masyarakat adalah perempuan baiknya
segera menikah.
Jujur saja aku langsung terdistraksi dengan pernyataan si Ibu :
“...kamu
saja masih santai dan tidak gatal dengan laki-laki”
Ingatan ku
langsung berputar pada memori yang terdahulu, pada setiap pernyataan dan perkataan
dari orang-orang yang maksudnya adalah sama.
Aku bukan kecewa atau ingin
membantah pernyataan si Ibu. Aku tau maksudnya tidak buruk, tapi entah kenapa
rasanya pernyataan sederhana tersebut mampu mengetuk relung hati ku.
Aku tau, aku jelas tau, ini bukan
cerita tentang ku, ini tentang teman ku. Yang sedang kita ceritakan adalah
permasalahan si Ibu mengenai putrinya, tapi entah kenapa aku merasa ada hal lain
yang seolah sedang dititipkan untuk ku melalui si Ibu. Ada hal lain yang
tiba-tiba mengganggu ku.
Dua tahun yang lalu, seorang teman
laki-laki dari masa SMA ku, bisa ku katakan aku tidak pernah berbicara hal yang
terlalu pribadi dengannya, dia bahkan adalah seseorang yang sangat irit
berbicara (jika aku bertemu dengannya dimasa sekarang mungkin aku akan jengkel
dengan karakternya yang sok cool,
syukurnya aku berteman dengannya dari masa kami masih sama-sama songong).
Di momen kami bertemu saat itu, dia
tiba-tiba bertanya pada ku:
“Apakah kamu pernah merasakan kesepian?”
Aku langsung menjawab “Kenapa aku
harus kesepian?”
Dia mencoba menjelaskan maksud
pertanyaannya. Maksud dia adalah apakah aku sebagai wanita dewasa yang belum
menikah atau bahkan tidak punya pasangan merasakan kesepian dimana yang kita
tau hampir semua orang sudah berada pada tahap hidup bersama. Saat itu aku
menjawab :
“Aku enjoy dengan hidup aku, aku
punya keluarga, aku memiliki banyak teman, keseharianku bekerja dan aku juga
menikmati hobi-hobi ku. Aku rasa aku tidak cukup kesepian”. Dan apabila yang
dimaksudkan oleh teman ku adalah dalam konteks seksual, aku belum merasa aku
harus segera memenuhi kebutuhan biologis ku.
Dan baru-baru ini aku juga
dikejutkan dengan pertanyaan teman terdekatku. Kami adalah dua orang yang
sering berbagi cerita kehidupan, yang bisa dikatakan sangat mengenalku. Tapi
pertanyaannya hari itu justru menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar tau
keinginanku.
“Aku ingin bertanya, sejujurnya kamu tuh pengen nikah gak sih ?”
Pertanyaan ini memaksa ku untuk
menjabarkan segala hal tentang makna dan nilai pernikahan,
pertimbangan-pertimbangan yang bukan hanya sekedar keinginan untuk menikah. Hal
yang bukan hanya tentang pernikahan tetapi juga bagaimana pemahamanku tentang
menjalani kehidupan berumah tangga. So ya, aku tau teman ku kaget karena tidak
pernah membayangkan bagaimana konseptual dari pemikiranku dan sejauh itu
pertimbangan-pertimbangan ku. Hal yang sebenarnya tidak pernah ku ungkapkan
kepada siapa pun.
Belum lama ini, ketika aku dan
teman-temanku sedang bercanda salah seorang dari kami juga sempat melemparkan
kalimat seperti ini:
“... Gak usah kamu tanya sama dia, dia belum mau menikah!”
Pernyataan itu ditujukan pada ku,
yang saat itu aku tanggapi dengan tertawa terbahak-bahak seolah pernyataan itu
hal yang tidak terlalu penting.
Teman lainnya juga pernah berkata
seperti ini:
“Perempuan itu banyak yang belum
menikah bukan karena kurang cantik tetapi kurang gatal saja”
Penyataan ini mungkin hanya sekedar
lelucon, tetapi ternyata memiki makna bahwa perempuan itu juga harus
menunjukkan ketertarikannya terhadap lawan jenis. Hal yang boleh jadi begitu
sulit untuk ku.
Dan kemarin teman ku yang lainnya
berkata:
“... aku ingat sekali kata-kata vira: Jangan turunkan standar mu!”
Yeorobun...
Semua pertanyaan dan pernyataan
yang pernah dilontarkan kepada ku akhirnya membuatku menyadari satu hal.
Hidupku yang disibukkan dengan pekerjaan dan hobi, keseharian ku yang
dikelilingi oleh keluarga, teman dan sahabat yang tidak pernah membuat ku
kesepian, aku dengan pemikiranku tentang pernikahan, aku dengan berbagai listing kriteria pasangan yang ku
inginkan, aku dengan segala hal pertimbangan dalam hidupku dan aku yang happy
dan enjoy dengan segala hal yang kulakukan. Justru menunjukkan bahwa :
AKU YANG TIDAK INGIN MENIKAH!
Demi Tuhan, apakah aku terlihat
seperti seseorang yang tidak punya minat untuk menikah?
Apakah kamu juga salah satu orang
yang menilai ku seperti itu?
Kalau boleh aku jujur, aku sedikit
sedih jika ternyata yang dilihat orang lain dari diriku adalah hal yang seperti
itu.
Yeorobun, aku tau aku perempuan dan
hidup dengan banyaknya stereotype di
masyarakat. Hidup ditengah stigma bahwa perempuan yang mendekati angka 30an
jika belum menikah dianggap perawan tua, jika perempuan yang beberapa kali
menolak lamaran laki-laki tidak akan ada lagi yang mau menikahinya, perempuan yang
sekolah terlalu tinggi atau memiliki karier yang bagus di pekerjaan akan sulit
mendapatkan laki-laki yang setara. Dan banyak hal lainnya yang menyulitkan
hidup sebagai perempuan.
Tapi aku BUKAN perempuan yang tidak
ingin menikah. Jika pada akhirnya
terlihat seperti itu, mungkin karena aku terlalu sibuk dengan hidupku sehingga
jarang sekali memperlihatkan ketertarikan ku terhadap hal-hal yang mendekati
kata ‘mencari pasangan’. Bukan berarti juga tidak ada yang mendekati ku, hanya
saja sepertinya sejauh ini aku lebih sering berkomunikasi secara profesional.
Tidak terlihat seperti orang yang ngebet nikah juga bukan berarti tidak
mempersiapkan diri. Bagi ku mempersiapkan pernikahan bukan hanya perihal
memilih menggunakan baju adat apa, dekor pelaminan yang seperti apa, mau katering
atau masak di rumah, acara di gedung atau dirumah. Bukan! tetapi lebih kepada
menyusun visi misi berumah tangga, menyusun goals pernikahan yang nanti akan di
diskusikan bersama, memelihara kesehatan tubuh dan reproduksi, belajar ilmu
positive parenting, belajar menurunkan ego, belajar mengendalikan perasaan dan
emosional, belajar menerima kekurangan diri,
belajar menyembuhkan trauma masa lalu dan hal lainnya yang dianggap
penting dan tidak bertentangan dengan prinsip hidupku.
Mungkin bagi orang lain bisa jadi aku
terlalu rumit dalam memaknai sebuah pernikahan, kenapa tidak let it flow saja? tidak! bagi ku
menikahi seseorang sama halnya seperti memilih masalah hidup yang seharusnya
sudah diketahui setidaknya dari sebelum menikah. Perencanaan yang tersusun
dengan rapi akan mengurangi resiko konflik di dalam pernikahan. Dan aku
memandang sebuah pernikahan adalah pada nilai bukan pada status, sama halnya
pandangan ku mengenai usia juga pada nilai kehidupan bukan pada angka.
Ya, kita sama-sama tau ada banyak
hal di dunia ini yang terjadi diluar perencanaan kita. Oleh karenanya aku tidak
menggantungkan ekpektasi ku meski aku memiliki banyak hal yang teoritis dan
konseptual. Aku juga bukan perempuan yang memiliki pandangan Princess Mentality layaknya putri dalam
dongeng yang penderitaan hidupnya berakhir setelah bertemu dengan pangeran
berkuda putih. Aku bukan perempuan yang menggantungkan hidup ku pada orang lain
hanya karena aku tidak sanggup menghidupi diri ku sendiri, aku juga bukan perempuan
yang pasif, yang mampu hidup berdiam diri dirumah menunggu suaminya pulang.
Jika kamu laki-laki dan kamu berpikir aku adalah perempuan yang seperti itu,
maaf sekali, aku bukan perempuan yang kamu cari hehe 😆
Selama bisa hidup berguna dan
berdaya, maka manfaatkanlah hidup mu agar lebih berdampak pada kebaikan. Jika
hadir mu dapat menginspirasi, memotivasi dan dapat berpengaruh positif terhadap
orang lain maka jangan berdiam diri saja, lakukan apapun yang bermanfaat untuk
mu, untuk keluarga mu, dan untuk dunia. Dan jika saat ini kamu adalah perempuan
yang belum menikah, belum memiliki anak, atau bahkan seorang janda, tetaplah
hidup dengan value diri kamu, hidup dengan keyakinan dan prinsip hidup mu,
hidup berarti tanpa perlu merasa terusik dengan standar nilai yang ditetapkan
oleh orang lain.
Terakhir, aku bukan perempuan yang tidak ingin menikah tetapi aku
perempuan yang belum menikah karena belum bertemu dengan seseorang yang tepat
untuk ku.
Mungkin sampai disini dulu, maafkan
jika ada banyak hal yang kurang memuaskan karena keterbatasanku dalam
menjelaskan. Semoga ada hal baik yang bisa diambil dan aku sangat senang sekali
jika ada yang mau berdiskusi dengan ku lebih lanjut.
Terima kasih sudah membaca tulisan
ini, sampai bertemu pada tulisan lainnya ✌
Komentar
Posting Komentar