Karena mu Nona jatuh cinta, Tuan! (part 1)

Hai, bertemu lagi dengan aku. Seorang perempuan yang suka bercerita dan suka menyimpan banyak kenangan di hidupnya. Jika kita belum saling mengenal, salam kenal ya. Selamat datang di dunia ku, cerita ku dan isi kepala ku.

Kali ini aku akan bercerita tentang sebuah cerita cinta. Ya C-I-N-T-A lima huruf yang rasanya terlalu melankolis dan terlalu menye-menye untuk diceritakan. Apalagi menceritakan kisah cinta sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Jika kamu sedang punya kesibukan atau sedang menghabiskan waktu dengan orang tersayang atau sedang banyak pikiran karena beban pekerjaaan atau tugas kuliah atau apapun itu, ku saran kan segera tutup laman web ini, tinggalkan blog ini, SEGERA!!!

Aku tidak ingin kamu menghabiskan waktu mu untuk hal yang tidak berguna. Tapi jika memang tidak ada hal berguna yang bisa kamu lakukan saat ini, tidak ada salahnya tetap membaca tulisan ku. Mari mengarungi kisah cinta seorang perempuan yang biasa saja yang jatuh cinta pada seorang lelaki yang juga biasa saja. Tidak ada yang istimewa diantara mereka. Hanya layaknya dua insan manusia yang dipilih Tuhan untuk merasakan jatuh pada hati masing-masing.

Ku kisahkan tentang seorang perempuan yang sudah lupa kapan terakhir sekali dia jatuh cinta. Mungkin sudah cukup lama hingga membuat dia hampir lupa bagaimana rasanya. Alasannya sederhana, dia takut jatuhnya bukan lagi pada orang yang tepat. Padahal dia tahu perasaan itu datangnya dari Tuhan dan Tuhan juga yang memilih pada siapa perasaan itu akan singgah. Cinta, lima huruf yang barangkali memang datangnya dari Tuhan dan selalu menjadi urusan manusia.

Sayangnya, ternyata Tuhan berbaik hati membuat perempuan itu jatuh cinta pada seseorang (lagi). Pada seorang lelaki yang biasa saja, bahkan sangat jauh dari tipikal lelaki idamannya. Bukan juga seseorang yang dapat dia sangka akan membuatnya jatuh pada perasaan yang membahagiakan tersebut. Lelaki yang terus membuatnya bertanya kepada dirinya sendiri. Benarkah dia orangnya? Benarkah cinta ini akan berlabuh pada orang yang tepat? Pertanyaan ini belum menemukan jawabannya hingga tanpa sadar lelaki ini diam-diam mencuri hati si perempuan yang telah lama bersembunyi menyendiri.

Siapa sosok pencuri hati tersebut?

Ia menjelma pada seorang lelaki perawakan tinggi besar, dadanya bidang, kulitnya agak gelap, wajahnya garang dan rambutnya panjang. Jika aku tanya, kalian akan membayangkan dia seperti apa? Jangan berani-beraninya kalian berimajinasi dia seperti pak Limbad! Perempuan itu pasti akan marah pada mu. Pasti! Karena  bagi perempuan itu, lelaki itu cukup tampan. Biarkan saja dia berpikir demikian karena memang dia melihatnya dengan cinta bukan dengan mata. hehe

Ku tegaskan sekali lagi, lelaki itu cukup tampan, gagah dan maskulin. Tetapi bisa-bisanya perempuan itu mengira bahwa lelaki itu GAY! Yaa.. Dia mengira awalnya lelaki itu adalah GAY!!!

Memang perempuan satu ini agak gila dalam menilai seseorang apalagi seorang lelaki yang baru dikenalnya. Mau tahu respon lelaki itu seperti apa ketika perempuan ini menyampaikan first impression-nya?

Yaaa sudah pasti kaget dan marah lah. Kalian berharap apa? lelaki itu jelas tidak terima. Dia bahkan sampai tidak bisa berkata-kata sangking kaget dan kecewa terhadap penilaian pertama yang sangat diluar ekpektasinya.

 “Sejauh ini, ini yang paling jauh!” katanya kesal.

Untung saja, lelaki itu tidak berkata “Apa perlu abang buktikan?!”

Berulang kali perempuan itu minta maaf, sungguh dia benar-benar minta maaf. Dia hanya... ah, begitulah adanya.

Baiklah, mari kita mulai cerita ini dengan membaca Bismilah ...

***

Ingatan ini kembali pada pertama sekali dia menyapa di media sosial, sapaan basa-basi terkait dengan pekerjaan ku. Bukan hal yang seharusnya patut ku ladeni. Entah apa yang menggerakkan ku untuk menjawab semua pertanyaannya hingga kami berlanjut saling mengenal, ini bukan aku yang seharusnya. Tetapi dia cukup menarik perhatian ku, apalagi ketika mengetahui Ayahnya pernah bertugas di sekolah ku dan salah seorang teman Ayah ku. Ya, Ayah ku jelas mengenal Ayahnya. Tapi ini bukan cerita para Ayah, ini cerita para anak yang kebingungan apakah kami pernah bertemu sebelumnya? Apakah kami pernah berada di momen yang sama? Dimana benang merah yang saling berkaitan tersebut? Ternyata memang tidak ada, kami hanya mengenal orang-orang yang sama di lingkaran kehidupan yang sama, sementara kami tidak pernah saling mengenal.

Pikiran ku semakin berkelana jauh, rasa penasaran ku semakin tinggi, banyak pernyataan darinya yang ambigu dan perlu penjelasan untuk seorang aku yang sudah punya kesimpulan sementara, penilaian ku saat itu dia membutuhkan aku untuk validasi dirinya. Akhirnya dengan berani aku, ya aku, kalian harus ingat, aku lah yang pertama sekali mengajaknya bertemu. Hingga pertemuan ini terjadi untuk pertama sekalinya, di sebuah warung kopi bernama “Meukuta”. Aku masih mengingatnya, momen pertama sekali kami bertemu, dia menggunakan kaos putih oversized bergambar Squidward yang dipadukan dengan celana jeans. Dia juga langsung mengenali ku yang saat itu menggunakan kaos abu-abu lengan panjang dan celana kulot jeans. Kami berada disana, berbicara layaknya orang yang sudah saling mengenal sebelumnya. Saling berbicara dan mendengarkan, membahas berbagai topik secara menantang dan gamblang. Diawal pertemuan kami, aku tidak takut untuk menunjukkan ketegasan ku, berbicara mengenai prinsip dan pandangan ku tentang hidup. Kami seperti berada di dimensi yang berbeda, fokus berdiskusi seolah satu ruangan hanya ada aku dan dia.

Hari itu aku merasa senang, karena aku bertemu seseorang yang bisa mengimbangi cara berpikir ku, yang memiliki cara pandang yang berbeda dengan ku dan bisa menerima segala hal prinsipal walau tidak selalu harus ideal dari ku. Dia adalah teman diskusi yang menarik.

Pertemuan pertama kami membawa pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hanya saja, selanjutnya kami berpindah tempat. Di sebuah kafe di pinggir pantai tanpa hiruk pikuk obrolan manusia yang berkedok ‘ngopi’. Masih dengan konsep yang sama, sarapan pagi bareng. Yang selalu dimulai dari waktu sarapan pagi hingga waktu makan siang. Kami membicarakan banyak hal, membicarakan hal-hal yang lebih privasi dan mencoba saling mengenal satu sama lain sehingga membuat kami semakin dekat. Pelan-pelan dia menceritakan kehidupan keluarganya pada ku. Keluarga yang jauh dari kata hangat. Dia tumbuh dengan masa kanak-kanak tanpa Ibu kandung. Ibunya meninggal ketika dia masih usia lima tahun. Dan sejak saat itu, dia punya ibu sambung dan adik-adik kandung dari ibu yang berbeda.

“Abang panggil Sukma aja ya” Katanya ketika ku sebutkan nama lengkap ku.

“Nggak mau”. Aku menolak karena sejujurnya aku paling tidak suka nama sukma itu tersemat di nama ku.

“Kenapa? Bagus kok nama Sukma”

“Gak mau Vira gak suka”

“Nama ibu kandung abang juga Sukma”

 Aku terdiam. Apakah ini hanya kebetulan saja? Aku tidak tahu harus bersikap. Aku tidak suka dipanggil Sukma tetapi jika dia memaksa, aku akan dengan senang hati dipanggil Sukma, karena sesungguhnya arti dari kata ‘Sukma’ adalah Jiwa. Tidak buruk juga kan?

 Ya sudah Abang panggil ‘Nona’ saja ya?”. Ternyata dia tidak memaksa, aku merasa menang.

 Nona, adalah panggilan awal yang disematkannya untuk ku. Nona Vira adalah panggilannya untuk ku. Dia juga menyimpan kontak ku dengan nama tersebut, Nona Vira. Mau tahu aku simpan kontak dia dengan nama apa? Hanya nama lengkapnya, selengkap-lengkapnya. Diujung namanya juga terdapat kata yang hampir mirip dengan nama ku yang memiliki arti ‘Bunga’ atau ‘Perhiasan’ dalam bahasa Sansekerta. Indah sekali perihal nama ini kan?

 

Sejak saat itu, kami selalu mengusahakan untuk bertemu. Entah itu setelah pulang kerja, bertemu untuk makan malam bersama atau ketika waktu senggang kami usahakan untuk bertemu. Kami saling menceritakan kesibukan masing-masing. Aku senang bertemu dengannya, aku bisa menceritakan keseharian ku. Aku seperti punya teman yang mendengarkan keluh kesah ku. Dan yang paling penting, dia adalah orang yang ternyata sangat memahami ketika ditengah pembicaraan aku akan bertanya:

Abang paham maksud Vira?”

Dia akan menjawab dengan sangat lembut “Abang paham Viraa

Ya, dia benar-benar paham. Bukan sekedar berkata paham tetapi dia benar-benar mengerti konteks yang sedang ku bicarakan. Bertanya seperti itu sudah menjadi kebiasaan ku, dan itu juga berlaku ketika kami sedang berdiskusi atau sekedar berbicara. Pernah suatu hari dia penasaran mengapa aku sering bertanya “Paham tidak?” tapi entah kenapa sangat sulit untuk ku menjawabnya, mungkin karena aku merasa kurang baik dalam penyampaian sehingga khawatir orang lain tidak mengerti. Tetapi dia selalu berusaha untuk memahami ku dengan caranya.

Dia adalah orang yang dengan nyaman aku bisa membahas berbagai topik dengan terbuka. Tapi bukan berarti pendapat kami selalu sama, banyak pandangan kami yang berbeda dan kami membicarakan hal tersebut. Kami pernah saling bercerita kehidupan percintaan kami yang sebelumnya. Kehidupan percintaan yang tidak berjalan mulus. Sejak saat itu dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja. Selama ini dia mencoba untuk membenahi dirinya walau tak pernah punya tujuan yang jelas dan pasti. Menurutnya, yang membuatnya bertahan hidup saat itu adalah uang. Syukurnya, dia dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Dia memiliki teman-teman yang sudah seperti abang-abangnya sendiri. Orang-orang yang mampu menasehati, mengingatkan, mendukung dan mengarahkannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang masih membuatnya hampa. Mereka adalah orang-orang yang selalu berharap yang terbaik untuknya dan membantunya untuk bertumbuh. Orang-orang yang saat ini berada di kehidupannya, yang selalu berada disekitarnya.

Syukur itu terpatri nyata dalam binar matanya yang berbicara. Raut wajahnya  berseri setiap menceritakan tentang abang-abang tersebut. Aku selalu tersenyum, diam-diam juga ikut bersyukur karena ternyata Tuhan benar-benar menyayanginya. Hidup memang tidak selalu sempurna, di beberapa sisi mungkin memang tidak berjalan baik dan harmonis, tapi Tuhan hadirkan orang-orang baik di kehidupannya, membuatnya bertumbuh di lingkungan yang baik. Orang-orang yang akan selalu menjaganya tetap berada dalam rangkulan Tuhan.

 “Vira senang se-support itu mereka ke abang, mereka orang-orang baik yang harus abang jaga di dalam hidup abang

Nanti abang akan kenalkan Vira dengan abang-abang itu ya

Aku hanya tersenyum dan menjawab “Vira malu”.

Ya, aku malu. Sangat malu. Sejujurnya secara tidak langsung aku sudah mengenal abang-abang tersebut. Mereka bukan orang asing, mereka adalah abang-abang kelas ku di SMA. Hanya saja, kami tidak pernah mengenali satu sama lain secara langsung. Bukan sekali dua kali dia berkata akan mengenalkan ku kepada mereka, tapi aku selalu menolaknya. Aku malu, entah malu karena apa. Mungkin karena bagiku mereka adalah orang-orang yang keren. Keren? Bagaimana aku harus menjelaskannya ya? Hmm saat ini aku belum memiliki kata yang cukup menggantikan kata ‘keren’ tersebut. 

“Kenapa malu? Mereka tahu semua tentang kita. Abang sering menceritakan Vira kepada mereka

Justru karena itu aku semakin malu. Dia sangat dekat dengan abang-abang tersebut. Dia tidak malu untuk menceritakan tentang kami. Karena menurutnya, mereka selalu mendukung apapun yang menjadi bahagianya dia. Abang-abang itu juga berharap agar dia juga segera memiliki seseorang yang menjadi tempatnya pulang.

Vira maluuu” kata ku sekali lagi, malu.

Aku tetap menolak, apalagi membayangkan dia akan mengenalkan ku sebagai perempuan yang sedang dekat dengannya, padahal jelas-jelas mereka sudah pasti tahu tentang aku dan dia.

Hal apalagi yang paling membahagiakan jika bukan mengenalkan orang yang kita sayang ke keluarga dan teman-teman terdekat, tapi ya sudah nanti kenalannya mengalir saja kalau ada momennya ya

Iyaaa

Dan tahukah kalian? Diam-diam aku menceritakan tentangnya kepada orang-orang terdekat ku. Aku menceritakan dia yang memperlakukan ku dengan baik, yang selalu berusaha bersikap baik, yang selalu memberikan ku pengertian jika dia tidak mampu memenuhi janji untuk bertemu, yang menyenangkan ketika diajak diskusi dan selalu punya perspektif yang berbeda dengan ku serta memiliki beberapa ketertarikan yang sama dengan ku.

Sudah pernah ku katakan aku senang bercerita dan berdiskusi, kan? Aku juga senang bercerita isi buku yang sedang ku baca padanya. Tahu tidak dia pernah bilang apa?

Kamu cantik kalau sedang bercerita

Demi apapun, aku ingin terbang ke langit ke tujuh dan memohon kepada Tuhan semoga aku bisa mendengar kalimat itu setiap hari.

***

Suatu hari, aku menyampaikan bahwa aku harus keluar kota untuk urusan pekerjaan ku sekaligus menghabiskan waktu libur ku di luar kota. Ketika aku menyampaikan bahwa aku harus ke luar kota besok pagi nya setelah selesai kegiatan pertemuan dengan para-bidan, entah kenapa aku melihatnya begitu gusar dan menemuiku malam itu juga. Malam itu dia berkata:

“Sebenarnya abang sudah tahu betul bulan ini banyak libur dan abang sudah merencanakan untuk jeda sesaat dengan harapan untuk mendapatkan ketenangan. Namun ternyata Tuhan mengabulkan doa abang dalam bentuk yang lain. Ternyata ketenangan itu kembali hadir saat abang bertemu Vira, Tuhan memberikan dalam bentuk Vira... agak sedikit kaget seperti tiba-tiba Vira ke luar kota. Rasanya sepi itu kembali”

Jujur saja, aku bingung harus menanggapinya seperti apa. Lebih tepatnya aku sebenarnya tidak terlalu mengerti maksudnya. Hal apa yang ada pada diri ku yang mampu menenangkan jiwa yang bergemuruh tersebut? Damai seperti apa yang mampu menenangkan isi kepalanya yang berisik tersebut? mengapa dia terlalu yakin pada ku?

“Abang jangan yakin dulu, mana tahu Vira bukan bawa ketenangan tapi justru membawa badai topan untuk abang” kata ku dengan nada bercanda.

“Mungkin waktunya terlalu cepat, tapi itu faktanya. Abang berusaha untuk tetap berprasangka baik atas semesta kabulkan. Ketenangan dan kebencian itu berdekatan, dua hal yang saling menghubungkan”

Selanjutnya dia juga berkata “Jangan lupa pulang ya, abang menunggu disini”.

Aku hanya tertawa, menurutku dia berlebihan. Aku hanya keluar kota beberapa hari, bukan pergi yang jauh. Tapi kemudian dia berkata lagi,

Vira mungkin tidak akan mengerti itu sekarang, tidak apa-apa”

Untuk menenangkan kerisauannya malam itu, akhirnya aku mengirimkan sebuah pesan singkat:

“Dear abang.. semoga sesuatu yang abang doakan dan abang harapkan Tuhan kabulkan dengan caranya Tuhan yang paling baik. Tuhan itu maha baik, jadi berprasangka baiklah dalam keadaan paling buruk sekalipun. Bersyukur untuk apapun yang Tuhan berikan hari ini, memaafkan apapun yang mengecewakan di masa lalu dan tidak perlu memikirkan hal yang berlebihan untuk masa depan yang belum pasti..

Vira senang punya teman ngobrol, teman diskusi dan teman bercerita seperti abang”

Kemudian dia membalas pesan ku :

"Terimakasih sudah memberi dalam kebaikan ini, ayo kita usahakan sama-sama kalau tidak diusahakan sama-sama artinya tujuannya berbeda”

Mengingat ucapannya malam itu, menggerakkan ku membeli nya sebuah baju kaos oversize warna putih dan sebotol parfum. Aku suka melihatnya memakai kaos berwarna putih, walau cukup kontras di kulitnya yang lebih gelap. Aku suka dia pakai kaos oversize bergambar squidward yang dipakainya ketika pertama sekali bertemu dengan ku, dan kata dia itu juga baju favoritnya. Sayangnya aku tidak menemukan kaos dengan merek yang sama. Ketika aku memberikan hadiah ku tersebut dia senang bukan main, padahal aku sempat berpikir bahwa aku berlebihan dan pasti dia tidak suka pemberian ku. Tapi dia terus meyakinkan ku bahwa dia sangat menyukai apapun pemberian ku, dan kaos itu dipakainya tanpa ragu dan malu.

Setelah aku kembali dari luar kota, dia mengajak ku pergi jalan-jalan. Tidak jauh hanya berjarak lima belas menit dari kota. Di sebuah pantai yang tenang dan nyaman untuk kami bisa saling berbicara dan mendengarkan. Beberapa kali kami mendatangi pantai itu, menciptakan waktu berkualitas untuk bercerita lebih banyak dan mengenal lebih jauh.

Pertama kalinya, pulang dari pantai dia mengajak ku makan ‘SEUMBAB’. Makanan khas Aceh Barat berupa ikan kakap merah yang direbus putih. Seumbab ini merupakan menu andalan di sebuah library cafe di kota ini. Kafe yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Sebuah kafe yang kurang familiar tapi terdapat banyak hal yang bersejarah, terutama sejarah perjuangan pahlawan Teuku Umar. Terdapat banyak benda peninggalan Tsunami Aceh, buku-buku yang ditulis langsung oleh orang-orang Aceh Barat. Tempat ini sangat bernilai, dan aku senang berada disana. Dia mengenalkanku pada pemilik kafe dan beliau bercerita tentang perjuangan Teuku Umar melawan penjajah di Barat-Selatan Aceh. Aku mendengarnya dengan antusias.

Menu Seumbab tersebut ternyata sengaja dipesan olehnya terlebih dulu. Di meja paling ujung sudah dihidangkan Ikan Seumbab bersama nasi, sambal terasi, lalapan dan gorengan. Hidangan di atas meja sebagai santapan makan siang dengan suasana lampu yang temaram benar-benar membuat suasana hangat dan romantis. Diam-diam aku tersenyum, hati ku membuncah. Hanya kami yang makan disana, dua orang manusia yang hatinya dipenuhi luapan rasa bahagia. Kami makan dalam diam, sesekali dia bertanya

 “Enak?

Aku lantas mengangguk dan menjawab dengan ceria “Enaaak, Vira suka. Walaupun vira jarang makan pakai tangan

Ya, aku sebenarnya sangat jarang makan pakai tangan apalagi harus memakan sambal terasi menggunakan tangan. Tapi siang itu, untuk pertama sekalinya aku sangat bahagia makan menggunakan tangan bersamanya.

Setelah makan, kami menghabiskan waktu dengan membaca buku. Di meja yang sama, setelah semua wadah makanan diangkut kami memilih membaca buku-buku. Dalam hening tersebut, aku diam-diam memotretnya. Aku senang melihatnya yang fokus membaca, aku suka melihatnya hari itu, yang memakai kaos putih favoritnya. Ku abadikan momen itu dalam gawai ku. Dia, yang akhirnya membuat ku jatuh cinta.

Ya, akhirnya aku mengakui dengan norak bahwa aku jatuh cinta. Pada seorang lelaki yang bukan tipikal lelaki ideal ku. Dia bahkan lelaki pecinta tembakau, padahal aku sangat benci bau rokok dan tidak akan pernah memilih lelaki nikotin. Ada banyak hal yang sebenarnya tidak ada di dirinya, tapi aku hanya butuh satu alasan untuk jatuh cinta padanya. Hati ku sudah memilih, pada lelaki yang sangat yakin bahwa aku akan menjadi masa depannya.

 “Nona happy?”

Harus seperti apa aku menjawab pertanyaan tersebut? Hati ku membuncah dengan perasaan bahagia, ingin sekali ku peluk dia erat dan berkata bahwa aku sangat bahagiaaaaa sekaliiiiii. Untungnya aku tidak sampai melewati batas. Dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang lebar aku menjawab “Vira happyyyy sekaliiiiiiii... Terima kasih ya sudah membawa Vira kesini, mencicipi makanan Seumbab, dan mengenalkan Vira dengan Bapak dan Ibu pemilik kafe

Alhamdulilah kalau Nona happy, Abang juga happy

 “Aura Nona juga beda ya kalau sudah berbicara dengan orang lain, Abang suka lihatnya

Setelah pulang, aku kemudian mengedit video kompilasi foto-foto dirinya. Dia kaget bahwa aku begitu banyak memotret dirinya.

Abang gak sadar sebanyak itu Vira ambil gambar, seingat abang Vira banyak membaca tadi. Videonya bagus Abang jadikan story ya

Video tersebut menggunakan backsound lagu milik Batas Senja – Menceritakan mu. Lagu ini benar-benar mewakili perasaan kami saat itu. Lagu untuk orang yang sedang jatuh cinta dan sedang berbunga-bunga.

~Dia tak pandai merangkai kata-kata,

Romantisnya pun seadanya,

Tapi aku bingung entah kenapa,

Oh, nyaman di dekatnya.

Ku harap engkau bisa aku percaya

Ku harap engkau bisa selalu menjaga ku (menjaga hati)

Hingga akhir usia ku

Berdua selalu~


Nonaaa terima kasih sudah merayakan, semoga aku dan kamu menjadi kita yang saling membasuh Nona...

Terima kasih sudah hadir di dalam hidup abang ya, semoga kita bisa terus tumbuh bersama”

***

Dia perokok, sudah ku katakan dia perokok kan?

Tetapi dia mau untuk berhenti merokok katanya, walau sulit sekali ku percayai. Hidung ku sangat sensitif dengan bau nikotin. Dia tidak pernah merokok di depan ku, jarang sekali dia merokok ketika kami bersama kecuali jika mulutnya sudah asam dan candunya sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia pasti akan ijin padaku untuk menyesap satu batang saja, itu pun tidak lama. Setiap akan berpergian dengan ku, dia pasti mengusahakan bersih-bersih terlebih dahulu, minimal tidak bau tembakau.

Aku juga mendukung apapun yang bisa membuatnya mengurangi rokok, aku peduli terhadap kesehatannya. Aku tidak mau dia jatuh sakit, aku tidak mau dia sakit yang disebabkan oleh rokok atau bahkan dia membahayakan orang-orang terdekatnya yang terpaksa menjadi perokok pasif. Di perburuk lagi dia punya sakit lambung katanya, karena dia sering mengeluh naik asam lambung. Rokok, asam lambung, kopi dan begadang adalah kehidupannya.

Pelan-pelan aku mengajaknya untuk hidup lebih sehat, aku membuatkan jus untuk detoks tubuhnya, aku mengajaknya olahraga walau tidak pernah ada waktu, aku mengingatkannya untuk makan tepat waktu dan mengurangi makan yang berlemak, aku menjaga waktu tidurnya agar dia tidak bergadang, walaupun dia selalu kesulitan untuk tidur.

Dia masih belum sempurna menjalankan ibadah lima waktunya. Aku mencoba untuk selalu mengingatkannya. Mengingatkannya untuk sholat Jum’at walaupun dia tidak pernah meninggalkan sholat Jum’at (katanya). Setiap berpergian dengan ku, jika masuk waktu ibadah aku pasti mengajaknya untuk ibadah terlebih dahulu. Pernah satu kali, kami berhenti untuk sholat Dzuhur di sebuah mesjid. Saat itu aku lebih dahulu selesai dan aku melihat dia, melihat dia berdoa. Dibalik punggung lelaki yang sedang berdoa itu, aku mengintip dibalik tirai shaf wanita. Aku berdiri terpaku disana, memperhatikan dia yang sedang berdoa.

Apa yang begitu serius dia panjatkan pada Tuhan? Apa yang sedang dia langitkan? Adakah nama ku dalam untaian panjang permintaannya?  

Detik itu juga aku berdoa.

 “Tuhan, siapakah dia untuk ku? Apa artinya dia dalam kehidupan ku?... Tuhan, jangan biarkan kami saling menyakiti. Semoga selalu ada hal baik dari ku untuk nya, dan hal baik darinya untuk ku. Sudah cukup dia menderita, beri dia kebaikan dan kebahagiaan di masa depannya”

Doa ku tulus, aku ingin kebaikan dan kebahagiaannya. Sayangnya, mungkin doa ku belum cukup sempurna.

Pernah suatu kali dia berkata, bahwa dalam hidupnya dia tidak pernah dirayakan apapun. Aku terenyuh, sebagai seseorang yang semuanya aku dirayakan di dalam hidup, aku berjanji bahwa di masa depan apapun dia akan ku rayakan, sekecil apapun, sesederhana apapun, ku rayakan dia dengan berbagai cara ku ❤

Komentar

  1. "Wah, semoga hatinya berlabuh di tempat yang tepat ya Ra!"
    Kadang, cinta datang tanpa aba-aba, tapi rasanya seperti rumah yang selalu kita cari."
    Selalu enak membaca tulisan² Ira, yang konon sekarang memiliki sebutan "Nona". Selamat ee nona 😉!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo bg Broe, terima kasih karena selalu berkenan membaca dan meninggalkan jejak. Terima kasih juga untuk doa baiknya, jangan lupa baca cerita lanjutannya ya hihi

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menikah ya tinggal Nikah !

#HariBercerita Gagal Berenang di Mata Ie