Karena mu Nona jatuh cinta, Tuan! (part 1)
Hai, bertemu lagi dengan aku. Seorang perempuan yang suka bercerita dan suka menyimpan banyak kenangan di hidupnya. Jika kita belum saling mengenal, salam kenal ya. Selamat datang di dunia ku, cerita ku dan isi kepala ku.
Kali ini aku akan bercerita tentang
sebuah cerita cinta. Ya C-I-N-T-A lima huruf yang rasanya terlalu melankolis
dan terlalu menye-menye untuk diceritakan. Apalagi menceritakan kisah cinta
sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Jika kamu sedang punya kesibukan
atau sedang menghabiskan waktu dengan orang tersayang atau sedang banyak
pikiran karena beban pekerjaaan atau tugas kuliah atau apapun itu, ku saran kan
segera tutup laman web ini, tinggalkan blog ini, SEGERA!!!
Aku tidak ingin kamu menghabiskan
waktu mu untuk hal yang tidak berguna. Tapi jika memang tidak ada hal berguna
yang bisa kamu lakukan saat ini, tidak ada salahnya tetap membaca tulisan ku.
Mari mengarungi kisah cinta seorang perempuan yang biasa saja yang jatuh cinta
pada seorang lelaki yang juga biasa saja. Tidak ada yang istimewa diantara
mereka. Hanya layaknya dua insan manusia yang dipilih Tuhan untuk merasakan
jatuh pada hati masing-masing.
Ku kisahkan tentang seorang
perempuan yang sudah lupa kapan terakhir sekali dia jatuh cinta. Mungkin sudah
cukup lama hingga membuat dia hampir lupa bagaimana rasanya. Alasannya
sederhana, dia takut jatuhnya bukan lagi pada orang yang tepat. Padahal dia
tahu perasaan itu datangnya dari Tuhan dan Tuhan juga yang memilih pada siapa
perasaan itu akan singgah. Cinta, lima huruf yang barangkali memang datangnya
dari Tuhan dan selalu menjadi urusan manusia.
Sayangnya, ternyata Tuhan berbaik
hati membuat perempuan itu jatuh cinta pada seseorang (lagi). Pada seorang
lelaki yang biasa saja, bahkan sangat jauh dari tipikal lelaki idamannya. Bukan
juga seseorang yang dapat dia sangka akan membuatnya jatuh pada perasaan yang
membahagiakan tersebut. Lelaki yang terus membuatnya bertanya kepada dirinya
sendiri. Benarkah dia orangnya? Benarkah cinta ini akan berlabuh pada orang
yang tepat? Pertanyaan ini belum menemukan jawabannya hingga tanpa sadar lelaki
ini diam-diam mencuri hati si perempuan yang telah lama bersembunyi menyendiri.
Siapa sosok pencuri hati tersebut?
Ia menjelma pada seorang lelaki
perawakan tinggi besar, dadanya bidang, kulitnya agak gelap, wajahnya garang
dan rambutnya panjang. Jika aku tanya, kalian akan membayangkan dia seperti
apa? Jangan berani-beraninya kalian berimajinasi dia seperti pak Limbad!
Perempuan itu pasti akan marah pada mu. Pasti! Karena bagi perempuan itu, lelaki itu cukup tampan. Biarkan
saja dia berpikir demikian karena memang dia melihatnya dengan cinta bukan
dengan mata. hehe
Ku tegaskan sekali lagi, lelaki itu
cukup tampan, gagah dan maskulin. Tetapi bisa-bisanya perempuan itu mengira
bahwa lelaki itu GAY! Yaa.. Dia mengira awalnya lelaki itu adalah GAY!!!
Memang perempuan satu ini agak gila
dalam menilai seseorang apalagi seorang lelaki yang baru dikenalnya. Mau tahu
respon lelaki itu seperti apa ketika perempuan ini menyampaikan first impression-nya?
Yaaa sudah pasti kaget dan marah
lah. Kalian berharap apa? lelaki itu jelas tidak terima. Dia bahkan sampai
tidak bisa berkata-kata sangking kaget dan kecewa terhadap penilaian pertama
yang sangat diluar ekpektasinya.
“Sejauh ini, ini yang paling jauh!”
katanya kesal.
Untung saja, lelaki itu tidak
berkata “Apa perlu abang buktikan?!”
Berulang kali perempuan itu minta
maaf, sungguh dia benar-benar minta maaf. Dia hanya... ah, begitulah adanya.
Baiklah, mari kita mulai cerita ini
dengan membaca Bismilah ...
***
Ingatan ini kembali pada pertama
sekali dia menyapa di media sosial, sapaan basa-basi terkait dengan pekerjaan
ku. Bukan hal yang seharusnya patut ku ladeni. Entah apa yang menggerakkan ku
untuk menjawab semua pertanyaannya hingga kami berlanjut saling mengenal, ini
bukan aku yang seharusnya. Tetapi dia cukup menarik perhatian ku, apalagi
ketika mengetahui Ayahnya pernah bertugas di sekolah ku dan salah seorang teman
Ayah ku. Ya, Ayah ku jelas mengenal Ayahnya. Tapi ini bukan cerita para Ayah,
ini cerita para anak yang kebingungan apakah kami pernah bertemu sebelumnya? Apakah
kami pernah berada di momen yang sama? Dimana benang merah yang saling
berkaitan tersebut? Ternyata memang tidak ada, kami hanya mengenal orang-orang
yang sama di lingkaran kehidupan yang sama, sementara kami tidak pernah saling
mengenal.
Pikiran ku semakin berkelana jauh,
rasa penasaran ku semakin tinggi, banyak pernyataan darinya yang ambigu dan
perlu penjelasan untuk seorang aku yang sudah punya kesimpulan sementara, penilaian
ku saat itu dia membutuhkan aku untuk validasi dirinya. Akhirnya dengan berani
aku, ya aku, kalian harus ingat, aku lah yang pertama sekali mengajaknya
bertemu. Hingga pertemuan ini terjadi untuk pertama sekalinya, di sebuah warung
kopi bernama “Meukuta”. Aku masih mengingatnya, momen pertama sekali kami
bertemu, dia menggunakan kaos putih oversized bergambar Squidward yang dipadukan dengan celana jeans.
Dia juga langsung mengenali ku yang saat itu menggunakan kaos abu-abu lengan
panjang dan celana kulot jeans. Kami berada disana, berbicara layaknya
orang yang sudah saling mengenal sebelumnya. Saling berbicara dan mendengarkan,
membahas berbagai topik secara menantang dan gamblang. Diawal pertemuan kami,
aku tidak takut untuk menunjukkan ketegasan ku, berbicara mengenai prinsip dan
pandangan ku tentang hidup. Kami seperti berada di dimensi yang berbeda, fokus
berdiskusi seolah satu ruangan hanya ada aku dan dia.
Hari itu aku merasa senang, karena aku bertemu seseorang yang bisa
mengimbangi cara berpikir ku, yang memiliki cara pandang yang berbeda dengan ku
dan bisa menerima segala hal prinsipal walau tidak selalu harus ideal dari ku. Dia
adalah teman diskusi yang menarik.
Pertemuan pertama kami membawa pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hanya saja, selanjutnya kami berpindah tempat. Di sebuah kafe di pinggir pantai tanpa hiruk pikuk obrolan manusia yang berkedok ‘ngopi’. Masih dengan konsep yang sama, sarapan pagi bareng. Yang selalu dimulai dari waktu sarapan pagi hingga waktu makan siang. Kami membicarakan banyak hal, membicarakan hal-hal yang lebih privasi dan mencoba saling mengenal satu sama lain sehingga membuat kami semakin dekat. Pelan-pelan dia menceritakan kehidupan keluarganya pada ku. Keluarga yang jauh dari kata hangat. Dia tumbuh dengan masa kanak-kanak tanpa Ibu kandung. Ibunya meninggal ketika dia masih usia lima tahun. Dan sejak saat itu, dia punya ibu sambung dan adik-adik kandung dari ibu yang berbeda.
“Abang panggil Sukma aja ya” Katanya
ketika ku sebutkan nama lengkap ku.
“Nggak mau”. Aku
menolak karena sejujurnya aku paling tidak suka nama sukma itu tersemat di nama
ku.
“Kenapa? Bagus kok nama Sukma”
“Gak mau Vira gak suka”
“Nama ibu kandung abang juga Sukma”
Aku terdiam. Apakah ini hanya kebetulan saja? Aku tidak tahu harus bersikap. Aku tidak suka dipanggil Sukma tetapi jika dia memaksa, aku akan dengan senang hati dipanggil Sukma, karena sesungguhnya arti dari kata ‘Sukma’ adalah Jiwa. Tidak buruk juga kan?
“Ya sudah Abang panggil ‘Nona’ saja ya?”. Ternyata dia tidak memaksa, aku merasa menang.
Nona, adalah panggilan awal yang disematkannya untuk ku. Nona Vira adalah panggilannya untuk ku. Dia juga menyimpan kontak ku dengan nama tersebut, Nona Vira. Mau tahu aku simpan kontak dia dengan nama apa? Hanya nama lengkapnya, selengkap-lengkapnya. Diujung namanya juga terdapat kata yang hampir mirip dengan nama ku yang memiliki arti ‘Bunga’ atau ‘Perhiasan’ dalam bahasa Sansekerta. Indah sekali perihal nama ini kan?
Sejak saat itu, kami selalu
mengusahakan untuk bertemu. Entah itu setelah pulang kerja, bertemu untuk makan
malam bersama atau ketika waktu senggang kami usahakan untuk bertemu. Kami
saling menceritakan kesibukan masing-masing. Aku senang bertemu dengannya, aku
bisa menceritakan keseharian ku. Aku seperti punya teman yang mendengarkan
keluh kesah ku. Dan yang paling penting, dia adalah orang yang ternyata sangat
memahami ketika ditengah pembicaraan aku akan bertanya:
“Abang paham maksud Vira?”
Dia akan menjawab dengan sangat
lembut “Abang paham Viraa”
Ya, dia benar-benar paham. Bukan
sekedar berkata paham tetapi dia benar-benar mengerti konteks yang sedang ku
bicarakan. Bertanya seperti itu sudah menjadi kebiasaan ku, dan itu juga
berlaku ketika kami sedang berdiskusi atau sekedar berbicara. Pernah suatu hari
dia penasaran mengapa aku sering bertanya “Paham
tidak?” tapi entah kenapa sangat sulit untuk ku menjawabnya, mungkin karena
aku merasa kurang baik dalam penyampaian sehingga khawatir orang lain tidak
mengerti. Tetapi dia selalu berusaha untuk memahami ku dengan caranya.
Dia adalah orang yang dengan nyaman aku
bisa membahas berbagai topik dengan terbuka. Tapi bukan berarti pendapat kami
selalu sama, banyak pandangan kami yang berbeda dan kami membicarakan hal
tersebut. Kami pernah saling bercerita kehidupan percintaan kami yang
sebelumnya. Kehidupan percintaan yang tidak berjalan mulus. Sejak saat itu dia
memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja. Selama ini dia mencoba
untuk membenahi dirinya walau tak pernah punya tujuan yang jelas dan pasti. Menurutnya,
yang membuatnya bertahan hidup saat itu adalah uang. Syukurnya, dia dikelilingi
oleh orang-orang yang baik. Dia memiliki teman-teman yang sudah seperti abang-abangnya
sendiri. Orang-orang yang mampu menasehati, mengingatkan, mendukung dan
mengarahkannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang masih membuatnya
hampa. Mereka adalah orang-orang yang selalu berharap yang terbaik untuknya dan
membantunya untuk bertumbuh. Orang-orang yang saat ini berada di kehidupannya,
yang selalu berada disekitarnya.
Syukur itu terpatri nyata dalam binar
matanya yang berbicara. Raut wajahnya
berseri setiap menceritakan tentang abang-abang tersebut. Aku selalu
tersenyum, diam-diam juga ikut bersyukur karena ternyata Tuhan benar-benar
menyayanginya. Hidup memang tidak selalu sempurna, di beberapa sisi mungkin
memang tidak berjalan baik dan harmonis, tapi Tuhan hadirkan orang-orang baik
di kehidupannya, membuatnya bertumbuh di lingkungan yang baik. Orang-orang yang
akan selalu menjaganya tetap berada dalam rangkulan Tuhan.
“Vira senang se-support itu mereka ke abang, mereka orang-orang baik yang harus abang jaga di dalam hidup abang”
“Nanti abang akan kenalkan Vira
dengan abang-abang itu ya”
Aku hanya tersenyum dan menjawab “Vira
malu”.
Ya, aku malu. Sangat malu. Sejujurnya secara tidak langsung aku sudah mengenal abang-abang tersebut. Mereka bukan orang asing, mereka adalah abang-abang kelas ku di SMA. Hanya saja, kami tidak pernah mengenali satu sama lain secara langsung. Bukan sekali dua kali dia berkata akan mengenalkan ku kepada mereka, tapi aku selalu menolaknya. Aku malu, entah malu karena apa. Mungkin karena bagiku mereka adalah orang-orang yang keren. Keren? Bagaimana aku harus menjelaskannya ya? Hmm saat ini aku belum memiliki kata yang cukup menggantikan kata ‘keren’ tersebut.
“Kenapa malu? Mereka tahu semua tentang kita. Abang sering menceritakan Vira kepada mereka”
Justru karena itu aku semakin malu. Dia sangat dekat dengan abang-abang tersebut. Dia tidak malu untuk menceritakan tentang kami. Karena menurutnya, mereka selalu mendukung apapun yang menjadi bahagianya dia. Abang-abang itu juga berharap agar dia juga segera memiliki seseorang yang menjadi tempatnya pulang.
“Vira maluuu” kata ku sekali
lagi, malu.
Aku tetap menolak, apalagi
membayangkan dia akan mengenalkan ku sebagai perempuan yang sedang dekat
dengannya, padahal jelas-jelas mereka sudah pasti tahu tentang aku dan dia.
“Hal apalagi yang paling
membahagiakan jika bukan mengenalkan orang yang kita sayang ke keluarga dan
teman-teman terdekat, tapi ya sudah nanti kenalannya mengalir saja kalau ada
momennya ya”
“Iyaaa”
Dan tahukah kalian? Diam-diam aku
menceritakan tentangnya kepada orang-orang terdekat ku. Aku menceritakan dia
yang memperlakukan ku dengan baik, yang selalu berusaha bersikap baik, yang
selalu memberikan ku pengertian jika dia tidak mampu memenuhi janji untuk bertemu,
yang menyenangkan ketika diajak diskusi dan selalu punya perspektif yang
berbeda dengan ku serta memiliki beberapa ketertarikan yang sama dengan ku.
Sudah pernah ku katakan aku senang
bercerita dan berdiskusi, kan? Aku juga senang bercerita isi buku yang sedang
ku baca padanya. Tahu tidak dia pernah bilang apa?
“Kamu cantik kalau sedang bercerita”
Demi apapun, aku ingin terbang ke
langit ke tujuh dan memohon kepada Tuhan semoga aku bisa mendengar kalimat itu
setiap hari.
***
Suatu hari, aku menyampaikan bahwa
aku harus keluar kota untuk urusan pekerjaan ku sekaligus menghabiskan waktu
libur ku di luar kota. Ketika aku menyampaikan bahwa aku harus ke luar kota
besok pagi nya setelah selesai kegiatan pertemuan dengan para-bidan, entah
kenapa aku melihatnya begitu gusar dan menemuiku malam itu juga. Malam itu dia
berkata:
“Sebenarnya abang sudah tahu betul bulan ini banyak libur dan abang sudah
merencanakan untuk jeda sesaat dengan harapan untuk mendapatkan ketenangan.
Namun ternyata Tuhan mengabulkan doa abang dalam bentuk yang lain. Ternyata
ketenangan itu kembali hadir saat abang bertemu Vira, Tuhan memberikan dalam
bentuk Vira... agak sedikit kaget seperti tiba-tiba Vira ke luar kota. Rasanya
sepi itu kembali”
Jujur saja, aku bingung harus
menanggapinya seperti apa. Lebih tepatnya aku sebenarnya tidak terlalu mengerti
maksudnya. Hal apa yang ada pada diri ku yang mampu menenangkan jiwa yang
bergemuruh tersebut? Damai seperti apa yang mampu menenangkan isi kepalanya
yang berisik tersebut? mengapa dia terlalu yakin pada ku?
“Abang jangan yakin dulu, mana tahu Vira bukan bawa ketenangan tapi
justru membawa badai topan untuk abang” kata ku dengan nada bercanda.
“Mungkin waktunya terlalu cepat, tapi itu faktanya. Abang berusaha untuk
tetap berprasangka baik atas semesta kabulkan. Ketenangan dan kebencian itu
berdekatan, dua hal yang saling menghubungkan”
Selanjutnya dia juga berkata “Jangan
lupa pulang ya, abang menunggu disini”.
Aku hanya tertawa, menurutku dia
berlebihan. Aku hanya keluar kota beberapa hari, bukan pergi yang jauh. Tapi
kemudian dia berkata lagi,
“Vira mungkin tidak akan
mengerti itu sekarang, tidak apa-apa”
Untuk
menenangkan kerisauannya malam itu, akhirnya aku mengirimkan sebuah pesan
singkat:
“Dear abang.. semoga sesuatu yang abang doakan dan abang harapkan Tuhan
kabulkan dengan caranya Tuhan yang paling baik. Tuhan itu maha baik, jadi
berprasangka baiklah dalam keadaan paling buruk sekalipun. Bersyukur untuk
apapun yang Tuhan berikan hari ini, memaafkan apapun yang mengecewakan di masa
lalu dan tidak perlu memikirkan hal yang berlebihan untuk masa depan yang belum
pasti..
Vira senang punya teman ngobrol, teman diskusi dan teman bercerita
seperti abang”
Kemudian dia membalas pesan ku :
"Terimakasih sudah memberi dalam kebaikan ini, ayo kita usahakan sama-sama
kalau tidak diusahakan sama-sama artinya tujuannya berbeda”
Mengingat ucapannya malam itu,
menggerakkan ku membeli nya sebuah baju kaos oversize warna putih dan
sebotol parfum. Aku suka melihatnya memakai kaos berwarna putih, walau cukup
kontras di kulitnya yang lebih gelap. Aku suka dia pakai kaos oversize bergambar
squidward yang dipakainya ketika pertama sekali bertemu dengan ku, dan
kata dia itu juga baju favoritnya. Sayangnya aku tidak menemukan kaos dengan
merek yang sama. Ketika aku memberikan hadiah ku tersebut dia senang bukan
main, padahal aku sempat berpikir bahwa aku berlebihan dan pasti dia tidak suka
pemberian ku. Tapi dia terus meyakinkan ku bahwa dia sangat menyukai apapun
pemberian ku, dan kaos itu dipakainya tanpa ragu dan malu.
Setelah aku kembali dari luar kota,
dia mengajak ku pergi jalan-jalan. Tidak jauh hanya berjarak lima belas menit
dari kota. Di sebuah pantai yang tenang dan nyaman untuk kami bisa saling
berbicara dan mendengarkan. Beberapa kali kami mendatangi pantai itu,
menciptakan waktu berkualitas untuk bercerita lebih banyak dan mengenal lebih
jauh.
Pertama kalinya, pulang dari pantai
dia mengajak ku makan ‘SEUMBAB’. Makanan khas Aceh Barat berupa ikan kakap
merah yang direbus putih. Seumbab ini merupakan menu andalan di sebuah library
cafe di kota ini. Kafe yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Sebuah kafe
yang kurang familiar tapi terdapat banyak hal yang bersejarah, terutama sejarah
perjuangan pahlawan Teuku Umar. Terdapat banyak benda peninggalan Tsunami Aceh,
buku-buku yang ditulis langsung oleh orang-orang Aceh Barat. Tempat ini sangat
bernilai, dan aku senang berada disana. Dia mengenalkanku pada pemilik kafe dan
beliau bercerita tentang perjuangan Teuku Umar melawan penjajah di
Barat-Selatan Aceh. Aku mendengarnya dengan antusias.
Menu Seumbab tersebut ternyata
sengaja dipesan olehnya terlebih dulu. Di meja paling ujung sudah dihidangkan
Ikan Seumbab bersama nasi, sambal terasi, lalapan dan gorengan. Hidangan di
atas meja sebagai santapan makan siang dengan suasana lampu yang temaram
benar-benar membuat suasana hangat dan romantis. Diam-diam aku tersenyum, hati
ku membuncah. Hanya kami yang makan disana, dua orang manusia yang hatinya
dipenuhi luapan rasa bahagia. Kami makan dalam diam, sesekali dia bertanya
“Enak?”
Aku lantas mengangguk dan menjawab
dengan ceria “Enaaak, Vira suka. Walaupun vira jarang makan pakai tangan”
Ya, aku sebenarnya sangat jarang
makan pakai tangan apalagi harus memakan sambal terasi menggunakan tangan. Tapi
siang itu, untuk pertama sekalinya aku sangat bahagia makan menggunakan tangan
bersamanya.
Setelah makan, kami menghabiskan waktu
dengan membaca buku. Di meja yang sama, setelah semua wadah makanan diangkut
kami memilih membaca buku-buku. Dalam hening tersebut, aku diam-diam
memotretnya. Aku senang melihatnya yang fokus membaca, aku suka melihatnya hari
itu, yang memakai kaos putih favoritnya. Ku abadikan momen itu dalam gawai ku.
Dia, yang akhirnya membuat ku jatuh cinta.
Ya, akhirnya aku mengakui dengan
norak bahwa aku jatuh cinta. Pada seorang lelaki yang bukan tipikal lelaki
ideal ku. Dia bahkan lelaki pecinta tembakau, padahal aku sangat benci bau rokok
dan tidak akan pernah memilih lelaki nikotin. Ada banyak hal yang sebenarnya
tidak ada di dirinya, tapi aku hanya butuh satu alasan untuk jatuh cinta
padanya. Hati ku sudah memilih, pada lelaki yang sangat yakin bahwa aku akan
menjadi masa depannya.
“Nona happy?”
Harus seperti apa aku menjawab
pertanyaan tersebut? Hati ku membuncah dengan perasaan bahagia, ingin sekali ku
peluk dia erat dan berkata bahwa aku sangat bahagiaaaaa sekaliiiiii. Untungnya
aku tidak sampai melewati batas. Dengan mata yang berbinar-binar dan senyum
yang lebar aku menjawab “Vira happyyyy sekaliiiiiiii... Terima kasih ya
sudah membawa Vira kesini, mencicipi makanan Seumbab, dan mengenalkan Vira dengan
Bapak dan Ibu pemilik kafe”
“Alhamdulilah kalau Nona happy, Abang
juga happy”
“Aura Nona juga beda ya kalau sudah
berbicara dengan orang lain, Abang suka lihatnya”
Setelah pulang, aku kemudian
mengedit video kompilasi foto-foto dirinya. Dia kaget bahwa aku begitu banyak
memotret dirinya.
“Abang gak sadar sebanyak itu Vira
ambil gambar, seingat abang Vira banyak membaca tadi. Videonya bagus Abang
jadikan story ya”
Video tersebut menggunakan backsound
lagu milik Batas Senja – Menceritakan mu. Lagu ini benar-benar mewakili
perasaan kami saat itu. Lagu untuk orang yang sedang jatuh cinta dan sedang
berbunga-bunga.
~Dia tak pandai merangkai kata-kata,
Romantisnya pun seadanya,
Tapi aku bingung entah kenapa,
Oh, nyaman di dekatnya.
Ku harap engkau bisa aku percaya
Ku harap engkau bisa selalu menjaga ku (menjaga hati)
Hingga akhir usia ku
Berdua selalu~
“Nonaaa terima kasih sudah
merayakan, semoga aku dan kamu menjadi kita yang saling membasuh Nona...
Terima kasih sudah hadir di dalam
hidup abang ya, semoga kita bisa terus tumbuh bersama”
***
Dia perokok, sudah ku katakan dia
perokok kan?
Tetapi dia mau untuk berhenti
merokok katanya, walau sulit sekali ku percayai. Hidung ku sangat sensitif
dengan bau nikotin. Dia tidak pernah merokok di depan ku, jarang sekali dia
merokok ketika kami bersama kecuali jika mulutnya sudah asam dan candunya sudah
tidak bisa ditahan lagi. Dia pasti akan ijin padaku untuk menyesap satu batang
saja, itu pun tidak lama. Setiap akan berpergian dengan ku, dia pasti
mengusahakan bersih-bersih terlebih dahulu, minimal tidak bau tembakau.
Aku juga mendukung apapun yang bisa
membuatnya mengurangi rokok, aku peduli terhadap kesehatannya. Aku tidak mau
dia jatuh sakit, aku tidak mau dia sakit yang disebabkan oleh rokok atau bahkan
dia membahayakan orang-orang terdekatnya yang terpaksa menjadi perokok pasif.
Di perburuk lagi dia punya sakit lambung katanya, karena dia sering mengeluh
naik asam lambung. Rokok, asam lambung, kopi dan begadang adalah kehidupannya.
Pelan-pelan aku mengajaknya untuk
hidup lebih sehat, aku membuatkan jus untuk detoks tubuhnya, aku mengajaknya
olahraga walau tidak pernah ada waktu, aku mengingatkannya untuk makan tepat
waktu dan mengurangi makan yang berlemak, aku menjaga waktu tidurnya agar dia
tidak bergadang, walaupun dia selalu kesulitan untuk tidur.
Dia masih belum sempurna
menjalankan ibadah lima waktunya. Aku mencoba untuk selalu mengingatkannya.
Mengingatkannya untuk sholat Jum’at walaupun dia tidak pernah meninggalkan
sholat Jum’at (katanya). Setiap berpergian dengan ku, jika masuk waktu ibadah
aku pasti mengajaknya untuk ibadah terlebih dahulu. Pernah satu kali, kami
berhenti untuk sholat Dzuhur di sebuah mesjid. Saat itu aku lebih dahulu
selesai dan aku melihat dia, melihat dia berdoa. Dibalik punggung lelaki yang
sedang berdoa itu, aku mengintip dibalik tirai shaf wanita. Aku berdiri terpaku
disana, memperhatikan dia yang sedang berdoa.
Apa yang begitu serius dia
panjatkan pada Tuhan? Apa yang sedang dia langitkan? Adakah nama ku dalam
untaian panjang permintaannya?
Detik itu juga aku berdoa.
“Tuhan, siapakah dia untuk ku? Apa artinya dia
dalam kehidupan ku?... Tuhan, jangan biarkan kami saling menyakiti. Semoga
selalu ada hal baik dari ku untuk nya, dan hal baik darinya untuk ku. Sudah
cukup dia menderita, beri dia kebaikan dan kebahagiaan di masa depannya”
Doa ku tulus, aku ingin kebaikan
dan kebahagiaannya. Sayangnya, mungkin doa ku belum cukup sempurna.
Pernah suatu kali dia berkata,
bahwa dalam hidupnya dia tidak pernah dirayakan apapun. Aku terenyuh, sebagai
seseorang yang semuanya aku dirayakan di dalam hidup, aku berjanji bahwa di
masa depan apapun dia akan ku rayakan, sekecil apapun, sesederhana apapun, ku
rayakan dia dengan berbagai cara ku ❤
"Wah, semoga hatinya berlabuh di tempat yang tepat ya Ra!"
BalasHapusKadang, cinta datang tanpa aba-aba, tapi rasanya seperti rumah yang selalu kita cari."
Selalu enak membaca tulisan² Ira, yang konon sekarang memiliki sebutan "Nona". Selamat ee nona 😉!!
Halo bg Broe, terima kasih karena selalu berkenan membaca dan meninggalkan jejak. Terima kasih juga untuk doa baiknya, jangan lupa baca cerita lanjutannya ya hihi
Hapus